Friday, May 27, 2011

Kuliah dan Beasiswa di Brunei Darussalam

Kuliah dan Beasiswa di Brunei Darussalam

“Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Mujadilah:11)

Rasa syukur yang amat mendalam kami haturkan kepada Allah yang selalu membuat cerita yang lebih indah dari apa yang kita bayangkan dan rencanakan. Allah yang selalu menempatkan hamba-hamba-Nya pada tempat yang sesuai dengan kekuatannya masing-masing. Allah yang selalu mengajarkan dan memberikan hikmah dari setiap kejadian yang dialami oleh semua makhluk. Dialah yang telah mengatur segala apa yang terbaik bagi kami sehingga kami bisa melanjutkan studi di Brunei Darussalam.

Brunei Darussalam merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang mengandalkan pertanian dan sumber daya alam sebagai devisa utama bagi negaranya. Pengelolaannya dilakukan secara profesional sehingga terbentuklah kestabilan dalam perekonomiannya untuk mengatur kehidupan masyarakat beserta warganya secara menyeluruh. Dengan kekayaan itu pulalah Brunei Darussalam dapat membebaskan segala administrasi yang berkenaan dengan pendidikan atau segala hal yang dapat menciptakan masyarakat madani, intelektual, dengan muatan Islam yang sangat baik.

Di Brunei terdapat beberapa perguruan tinggi dengan kekhasannya masing-masing. Perguruan tinggi-perguruan tinggi tersebut adalah Universiti Brunei Darussalam (UBD), Institut Teknologi Brunei (ITB), Sultan Hassanal Bolkiah Institute, dan Universiti Islam Sultan Sharif Ali (Unissa).

Universiti Islam Sultan Sharif Ali didirikan pada 1 Januari 2007. Dalam umurnya yang masih muda, universitas tersebut berusaha untuk selalu mengepakkan sayapnya dalam dunia keilmuan khususnya pengembangan keilmuan yang bernafaskan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu fakultas-fakultasnya pun berbeda dengan yang ada di UBD atau ITB. Universitas ini memiliki empat fakultas, yaitu: Fakultas Bahasa dan Tamadun Islam, Fakultas Ushuluddin, Fakultas Syariah dan Hukum, serta Fakultas Bisnis dan Manajemen. Selain itu juga terdapat Pusat Pengetahuan dan Pembelajaran Bahasa, Pusat Penelitian Madzhab Syafi’i, dan Pusat Pembelajaran dan Penelitian bagi Sarjana (Master).

Unissa menyelenggarakan program diploma (sarjana muda), sarjana (S1), magister (S2), dan doktor (S3). Program sarjana ditempuh selama 4 tahun, magister 2 tahun, dan doktor filosofi (PhD) 3 tahun. Kecuali program doktor, pihak universitas mewajibkan mahasiswanya hafal beberapa juz al-Qur’an. Untuk program sarjana hafal 4 juz dan magister 2 juz.

Di Unissa terdapat 8 mahasiswa Indonesia: 1 mahasiswa S1 (Fakultas Syariah dan Hukum), 6 mahasiswa S2 (2 di Fakultas Syariah dan Hukum dan 4 di Fakultas Bahasa dan Tamadun Islam), dan 1 mahasiswa S3 (Fakultas Syariah dan Hukum).

Program perkuliahan dibagi menjadi dua semester dalam setahun yang dimulai pada Agustus untuk semester pertama dan Januari untuk semester kedua. Liburan perkuliahan semester pertama selama satu bulan (Desember) dan semester kedua tiga bulan (Mei-Juli).

Perkuliahan disampaikan dengan metode ceramah serta dialog mahasiswa dengan dosen yang selalu diadakan setelah perkuliahan pertama, khususnya bagi mahasiswa program sarjana dan doktor. Mereka diharapkan dapat mengembangkan fikiran-fikirannya dalam dialog tersebut.

Ada beberapa kelebihan yang sangat senang kami rasakan yaitu komunikasi antara dosen dengan mahasiswa terjalin sangat indah dan harmonis. Hal ini tergambar ketika kami merasakan kesulitan dan langsung bertanya pada salah satu dosen di ruangannya. Seluruh dosen tidak merasa terbebani dengan hal itu. Mereka justru senang dan tambah bersemangat menerangkan apa yang ditanyakan oleh mahasiswanya.

Tidak hanya itu, kami sebagai mahasiswa juga sangat mudah bertemu dengan para dosen serta pejabat di universitas untuk konsultasi maupun meminta bantuan yang berkenaan dengan civitas akademika. Mereka sangat senang dapat membantu mahasiswa-mahasiswa yang memerlukannya.Oleh karena itu, kami cepat bisa beradaptasi dengan lingkungan kampus karena kami merasa senang dan seperti di rumah sendiri.

Tenaga pengajar atau dosen di universitas-universitas Brunei sangat kompeten di bidangnya masing-masing. Hal ini membuat kami tidak ragu-ragu untuk selalu bertanya tentang apa saja mengenai materi-materi yang belum kami fahami. Fakta ini sangat jauh dari pendapat ataupun penilaian orang bahwa universitas-universitas di Brunei belum bisa bersaing dengan universitas-universitas di negara lain. Rata-rata dosen di sini lulusan dari Mesir, Amerika Serikat, dan Madinah.

Tak jauh berbeda
Kehidupan sehari-hari di Brunei, mulai dari makanan sampai pergaulan, tidak jauh beda dengan Indonesia. Itu juga yang membuat kami cepat bisa beradaptasi karena sudah seperti di negara sendiri. Tetapi ada juga beberapa hal yang sangat berbeda dengan yang kami temukan di Indonesia, seperti bahasa Melayu Brunei yang terkadang tidak kami fahami sama sekali. Selain itu, sistem kerajaan tidak membenarkan demokrasi seperti halnya di Indonesia. Akan tetapi semuanya berjalan dengan baik dan harmonis karena keramahan penduduknya meskipun kami tidak kenal.

Selain itu, ada yang menambah rasa senang di hati hidup di negara ini yaitu budaya salam antarsesama pejalan kaki, khususnya di masjid dan perguruan tinggi-perguruan tinggi, sehingga kami tidak merasa asing di negara lain. Nilai-nilai keislaman dijaga dengan baik dan dijunjung tinggi oleh seluruh penduduk Brunei; antara anak muda dengan orang tua, antara pejalan kaki dengan pemakai jalan, dan yang lebih penting yaitu ilmu-ilmu yang diajarkan dengan baik dan memiliki nilai keislaman tinggi sehingga kami terlindungi dari ajaran-ajaran yang tidak benar. Hal-hal ini yang membuat kami merasa nyaman hidup di Brunei.

Demikian beberapa pengalaman kami dalam mengikuti perkuliahan di Universitas Islam Sultan Sharif Ali. Jika ada kekurangan mengenai universitas-universitas lain di Brunei yang belum termaktub atau ada sesuatu hal yang tidak berkenan di hati, kami mohon maaf. Semoga tulisan ini bermanfaat. Amin.


Peluang Beasiswa
Pemerintah Brunei Darussalam setiap tahun memberikan beasiswa untuk mahasiswa asing. Pendaftaran beasiswa biasanya pada bulan Januari-Februari atau bulan November-Desember. Syarat-syarat pendaftarannya sebagai berikut:

1. Fotokopi paspor
2. Fotokopi ijazah dan nilai akhir
3. Fotokopi akte kelahiran
4. Fotokopi surat tanda kecakapan dari kepolisian setempat (dari Polda lebih baik)
5. Sertifikat-sertifikat yang berbahasa Inggris atau tidak (diharapkan yang sesuai dengan program yang akan diambil)
6. Mengisi formulir dan difotokopi sesuai dengan yang diperlukan
7. IELTS 6.0 atau TOEFL minimum 550 bagi perkuliahan yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.

Catatan: ketujuh syarat di atas ditulis dengan bahasa Inggris.
Setiap universitas menawarkan beasiswa yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan dari universitas yang bersangkutan. Beasiswa dari Menteri Pendidikan seperti yang kami terima saat ini meliputi: (1) Pembebasan biaya administrasi universitas (kecuali iuran untuk keperluan universitas), (2) Tiket pesawat untuk pemberangkatan ketika studi dan pulang ke negara masing-masing ketika sudah menyelesaikan studi, (3) Uang asrama dan makan tiga kali sehari, (4) Pembebasan biaya rumah sakit jika biaya pengobatan lebih dari B$3 atau sekitar Rp 20.400 (kurs B$1= Rp 6.800), dan (5) Uang beasiswa yang meliputi: uang bulanan sebesar B$500, uang buku untuk setahun sebesar B$600, dan uang bagasi pesawat sebesar B$250 untuk negara ASEAN dan B$500 untuk luar ASEAN.

Oleh: Ahmad Fanani
Mahasiswa S2 Universitas Islam Sultan Sharif Ali

Sumber
Kuliah dan Beasiswa di Jerman

Kuliah dan Beasiswa di Jerman

Mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jerman biasanya biaya sendiri. Selain kuliah, tidak sedikit dari mereka juga mencari pekerjaan sampingan. Banyak pekerjaan yang ditawarkan kepada mahasiswa terutama untuk liburan musim panas.

Belajar di negeri orang merupakan salah satu impian orang Indonesia. Tak terkecuali belajar di Jerman. Negara der Panzer ini memiliki kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran, teknik, serta sosial. Selain menawarkan pendidikan berkualitas, Jerman juga menawarkan pendidikan dengan biaya relatif lebih murah dibandingkan dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.

Setiap orang Indonesia yang ingin belajar di Jerman harus melewati beberapa tahapan seperti menguasai bahasa Jerman dan lulus Studentkolleg. Tahap-tahap ini berlaku untuk mahasiswa yang ingin melanjutkan program sarjana (S1)-nya di Jerman setelah SMA. Studentkolleg adalah sekolah penyetaraan untuk mahasiswa asing yang ingin melanjutkan ke universitas.

Studentkolleg terdiri dari beberapa jenis sesuai dengan jurusan yang akan diambil saat kuliah nanti, yaitu : M-Kurs (jurusan kedokteran), T-Kurs (jurusan teknik), W-Kurs (jurusan ekonomi), dan G-Kurs (jurusan sosial dan komunikasi). Syarat-syarat untuk masuk Studentkolleg antara lain: ijazah SMA yang sudah dilegalisir dan diterjemahkan dalam bahasa Jerman, bisa berbahasa Jerman minimal setara dengan level B1. Level ini dapat kita raih dengan mengikuti les bahasa Jerman sekitar 480 jam. Selain itu kita juga harus mengikuti ujian masuk.

Di Studentkolleg mahasiswa biasanya belajar hal yang mendasar untuk kuliah, seperti matematika, fisika, informatika biologi, kimia, dan tambahan bahasa Jerman. Tapi tidak semua jurusan itu memperoleh pelajaran sama, contohnya untuk T-Kurs tidak belajar ekonomi. Begitu juga sebaliknya untuk W-Kurs tidak belajar fisika atau kimia.

Setelah mengikuti Studentkolleg selama kurang lebih 1 tahun, baru kita bisa mendaftar ke perguruan tinggi. Pendaftaran ke perguruan tinggi dilakukan dengan dua cara yaitu melewati lembaga yang mengurus universitas-universitas di Jerman atau daftar langsung ke universitasnya secara online. Syarat-syarat untuk mendaftar ke perguruan tinggi yaitu ijazah Studentkolleg (Zeugnis) yang sudah dilegalisir, ijazah SMA yang sudah dilegalisir dan diterjemahkan dalam bahasa Jerman, curriculue vitae, fotokopi izin tinggal (visa studi), dan fotokopi paspor.

Sebelum memasuki universitas di Jerman kita harus mengetahui jenis-jenis perguruan tingginya. Di Jerman terdapat tiga macam perguruan tinggi, yaitu Universität (Uni), Fachhochschule (FH), dan Berufsakademie. Setiap perguruan tinggi mempunyai tenaga pengajar dan fasilitas yang memadai seperti perpustakan, laboratorium komputer, kantin, arena olahraga, dan sebagainya. Mahasiswa bisa meminjam buku-buku dengan gratis di perpustakaan kampus , karena harga buku pelajaran di sini termasuk mahal. Perbedaan dari ketiga perguruan tinggi itu terletak pada jurusan yang diambil dan sistem pengajarannya. Mahasiswa jurusan sosial dan kedokteran banyak terdapat di universität dan jurusan teknik banyak terdapat di FH, tetapi di Uni juga terdapat jurusan teknik. Selain itu sistem pengajaran di FH lebih mengarah ke ilmu-ilmu praktik dan Uni lebih mengarah ke ilmu-ilmu teori. Sedangkan Berufsakademie lebih menjuru ke praktikum dan magang di perusahaan.

Lama studi untuk program S1 di Jerman biasanya sekitar 3-4 tahun. Tapi untuk jurusan kedokteran sekitar 6-7 tahun. Biaya pendidikan di Jerman berbeda-beda, untuk wilayah-wilayah bekas Jerman Timur sekitar 100-350€ dan Jerman Barat sekitar 400-700€ setiap semester. Biaya ini sudah termasuk biaya untuk tiket transportasi kota tersebut. Tetapi ada wilayah di Jerman yang memberikan keringanan. Contohnya di wilayah bagian Baden Württemberg, kota ini memberikan keringanan untuk mahasiswa yang mempunyai anak atau mempunyai lebih dari dua saudara kandung, maka biaya pendidikannya dibebaskan oleh pemerintah setempat.

Biaya hidup mahasiswa di Jerman sekitar 450-750€ atau sekitar Rp 5-9 juta per bulan. Ini biasanya sudah mencakup tempat tinggal, asuransi kesehatan, makan, dan biaya-biaya kecil lainnya. Biaya hidup ini tergantung kota tempat kita tinggal dan gaya hidup individu.

Kehidupan Mahasiswa di Jerman
Mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jerman biasanya biaya sendiri. Selain kuliah, tidak sedikit dari mereka juga mencari pekerjaan sampingan. Banyak pekerjaan yang ditawarkan kepada mahasiswa terutama untuk liburan musim panas. Liburan yang biasanya berlangsung selama 2 bulan ini dimanfaatkan untuk mencari penghasilan tambahan. Besarnya pendapatan yang diperoleh sekitar 5-12€ per jam. Apabila saat liburan dimanfaatkan untuk bekerja maka mereka bisa mendapat penghasilan sekitar 1500-2500€. Pada saat liburan, selain bekerja mereka juga biasanya melakukan refreshing seperti liburan ke kota-kota di Jerman, atau memanfaatkan visa Schengen mereka untuk mengunjungi negara–negara lain di Eropa. Dengan visa Schengen mereka bisa bebas tanpa perlu membuat izin untuk mengunjungi negara-negara Uni Eropa. Mahasiswa Indonesia juga sering mengadakan pertemuan-pertemuan atau mengadakan pertandingan olahraga seperti sepak bola.

Informasi Beasiswa di Jerman
Biasanya perguruan tinggi di Jerman banyak menyediakan beasiswa. Seperti di tempat kuliah saya, misalnya. Saat saya memasuki semester pertama, banyak perusahaan yang menawarkan beasiswa untuk semester berikutnya sampai lulus. Besarnya beasiswa sekitar 2000€. Beasiswa ini diberikan untuk mahasiswa yang lulus seleksi dokumen dan memiliki nilai bagus di semester pertama.

Untuk informasi beasiswa bisa ditanyakan di kantor Dinas Pertukaran Akademi Jerman (DAAD) yang terletak di: DAAD Jakarta Office, Jl Jenderal Sudirman Kav. 61-62, Summitmas I, Lantai 19, Jakarta 12190. Telepon 021-5200870, 5252807. Faks 021-5252822. Email: infor@daadjkt.org This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it .

Oleh: Sitha Vastika Utami
Mahasiswa Tehnik Kimia di Hoch Schule Mannheim
Sumber
Mendidik Jiwa Wirausaha Anak Sejak Dini

Mendidik Jiwa Wirausaha Anak Sejak Dini

Kebanyakan orangtua sering memaknai dan menyikapi kebiasaan konsumtif anak-anak secara negatif. Padahal, apa yang didengar, dilihat, dan dirasakan anak merupakan pendidikan yang membentuk jiwa dan kepribadiannya kelak.

Jajan memang sangat identik dengan dunia anak. Ada yang merengek-rengek minta jajan, karena anak tetangga atau teman sekolahnya lagi jajan. Ada juga yang sering jajan, karena mendapat uang saku ekstra dari sang eyang. Tidak hanya itu, anak-anak juga biasanya minta dibelikan mainan ini dan itu.

Secara psikologis, kebiasaan ini bisa dimaklumi, karena dunia anak memang dunia bermain, ceria, dan bergembira ria. Yang bisa dilakukan oleh orangtua dan para pengasuh adalah, mengarahkan kebiasaan itu agar bernilai edukasi. Seperti, menanamkan jiwa wirausaha kepada anak sejak usia dini. Sehingga, budaya konsumtif itu bisa berubah menjadi budaya produktif.

Menurut Psikolog Anak, Rina Mutaqinah Taufik, pendidikan wirausaha untuk anak sejak dini ini sangat baik. Namun sebelumnya, si anak harus dibekali tentang nilai tanggung jawab, cara mengelola uang secara sederhana, dan mengelola waktu untuk belajar dan berwirausaha.

Misalnya, mengajarkan anak tanggung jawab ketika buang air kecil ke toilet, dan mengelola uang jajan yang diberikan—sebagian untuk jajan makanan yang sehat, sebagian untuk menabung, dan sebagian lagi untuk sedekah.

Latihan seperti ini sudah bisa dilakukan sejak anak berusia dua tahun. Karena, sejak kecil pun anak sudah mampu berkomunikasi. “Jangan anggap anak tidak mengerti apa-apa dengan mengatakan, ‘Ah, masih anak kecil,’” ujarnya.

Sementara itu, menurut Zainun Mu’tadin, M.Psi, Dosen Psikologi UPI YAI, orangtua harus menanyakan anaknya hal-hal yang memancing kreativitas. Misalnya, jangan bertanya 5 x 5 berapa. Tapi, tanyalah berapa kali berapa saja sama dengan 25. Anak akan dilatih untuk memiliki beberapa alternatif jawaban dan solusi. Dengan alternatif tersebut, anak mampu mengambil keputusan yang tepat dari berbagai pilihan yang ada.

Tentu saja jiwa wirausaha pada diri anak tidak serta-merta ada, tapi memerlukan latihan bertahap. Bisa dimulai dari hal-hal kecil dalam aktivitas keseharian anak. Misalnya, membereskan mainan selesai bermain, rajin sikat gigi sebelum tidur, dan membereskan tempat tidur. Ini merupakan latihan untuk berdisiplin, bertanggung jawab, dan awal pengajaran tentang kepemilikan.

Latihan selanjutnya, mengajarkan anak untuk mampu mengelola uang dengan baik. Latihan yang perlu diajarkan bukan hanya cara membelanjakan, tapi juga menabung, sedekah, dan mencari uang. Tentu saja cara ini memerlukan konsistensi orangtua terhadap aturan.

Tahap selanjutnya, si anak mulai diajarkan berbisnis kecil-kecilan. Misalnya, menjual makanan ringan ke teman-teman sekolahnya. Dengan syarat, orangtua harus benar-benar melihat kemampuan si anak, agar tidak membebani ketika belajar di sekolah. “Kalau kita tahu anak bermasalah dalam konsentrasi belajar, sebaiknya jangan dulu diizinkan,” tegas Zainun.

Dengan demikian, anak akan memiliki keahlian mendasar untuk menjadi seorang pengusaha. Ia akan belajar mengetahui modal awal, harga jual, dan laba dari penjualan. Secara mental, akan merangsang kreativitas anak dan membentuk kesadaran bahwa mencari uang itu tidak mudah. Dan secara tidak langsung, ia juga belajar matematika, marketing, komunikasi, dan lain sebagainya. (Roji/MG)

Sumber

Kurikulum Tersembunyi di Pesantren Gontor



Istilah kurikulum ter­sem­bunyi (hidden curricullum) dikenalkan oleh Philip W Jackson pada tahun 1968 dan Paulo Freire pada 1972. Namun, Pondok Modern Darussalam Gontor telah menerapkan kurikulum ini sejak awal berdirinya, 10 April 1926. Kurikulum ter­sem­bunyi dilaksanakan untuk mengolah ranah afektif dan psikomotorik peserta didik. Dalam melaksanakan kuri­kulum tersembunyi ini, KMI dibantu oleh staf Peng­asuhan Santri. Untuk memberlakukan kurikulum ter­sembunyi ini, saf Pengasuhan Santri menggunakan “Total Quality Control” yang berfungsi untuk mencari dan me­nyelesaikan permasalahan, mencari inspirasi, memupuk rasa tanggung jawab dan menciptakan kehidupan sesuai dengan yang diinginkan/diarahkan.





Pelaksanaan hidden curriculum dapat dilakukan di rayon atau asrama, Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM), Koordinator Gerakan Pramuka, dan non-OPPM. Di asrama, kurikulum ini dilaksanakan selama 24 jam per hari. Selama waktu tersebut para santri mendapatkan pen­­didikan hidup dan menghidupi, berjuang dan mem­perjuangkan, berkorban dan mengorbankan. Santri kelas 5 yang diberi tanggung jawab oleh Pengasuh Pondok untuk menjadi pengurus rayon diharapkan terdidik untuk bisa menjadi pemimpin yang hakiki. Mereka dituntut sewaktu-waktu untuk bisa menjadi ‘ayah’ atau ‘ibu’. Sewaktu-waktu juga bisa menjadi ‘kakak’ bahkan ‘teman’ biasa bagi anggotanya masing-masing. Sedangkan anggota rayon, santri kelas 1-4 dan kelas 5-6 yang tinggal di asrama, perlu memperoleh bimbingan, pengawalan, motivasi bahkan kadang-kadang perlu shock terapy.



Sistem asrama ini bagaikan sebuah sistem pemerintah­an suatu negara. Ketua rayon sebagai presiden, para pengurus rayon lainnya --yang terbagi menjadi dua bagian: keamanan dan penggerak bahasa-- sebagai menteri, dan anggota rayon ibarat masyarakat. Anggota rayon itu bagaikan padi. Makin diperhatikan, dirawat dan dijaga dari segala serangan hama oleh petani (pengurus rayon) maka makin baguslah hasil panennya. Sebaliknya jika padi itu kurang diperhatikan, jarang dirawat, dibiarkan dari serangan hama, maka padi itu akan hancur, rusak, tak layak untuk dijual apalagi dikonsumsi. Sama halnya dengan anggota yang menghadapi pelbagai permasalahan dan kurang mendapat bimbingan, perhatian, motivasi, dan khususnya pengontrolan dari pengurus dalam bidang ubudiyah, akhlak, disiplin, akademik, dan bahasa, maka prestasi santri akan kurang memuaskan ke­ti­ka kenaikan kelas di­umum­kan.



Kurikulum pesantren di Pon­­dok Modern Gontor se­imbang. Tidak membedakan pro­gram intrakurikuler dengan ekstra­­kurikuler. Se­­­imbang bukan berarti fifty-fifty atau one hundred-one hundred me­­lainkan semuanya di­penting­kan, diperhatikan dan pada akhir­nya akan mem­pe­ngaruhi kinerja santri. Karena dipentingkan, di­per­hatikan, dan keduanya sa­ling mempengaruhi, maka kurikulum ter­sebut menjadi satu kesatuan yang utuh (integrated) dan menyeluruh (comprehensive). Program intrakurikuler tidak lebih utama daripada ekstrakurikuler atau sebaliknya. Jadi, kegiatan dalam kelas maupun luar kelas sama pentingnya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, untuk kepentingan tertentu, bisa jadi kelas diliburkan untuk kegiatan ekstrakurikuler seperti pada acara pergantian pengurus OPPM, penerimaan tamu, pekan perkenalan Khutbatu-l-‘Arsy, dan apel tahunan. Dengan meliburkan kelas untuk kepentingan tertentu, itu menandakan bahwa derajat intrakurikuler dan ekstrakurikuler sama (seimbang).



Integrasi intrakurikuler dengan ekstrakurikuler dapat dilihat dari aspek pengembangan potensi santri, baik dalam ubudiyah, mental, sosial, maupun intelektual. Santri memperoleh pelajaran agama 100 persen dan pelajaran umum 100 persen. Dua hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah karena seluruh santri berada dalam kampus selama 24 jam per hari yang terintegrasikan pada tri pusat pendidikan; rumah, sekolah, dan masyarakat dengan dilandasi oleh falsafah hidup pondok yang secara tidak sadar telah diajarkan oleh guru di dalam kelas melalui mata pelajaran agama dan umum yang kemudian diterapkan oleh seluruh santri pada kehidupan sehari-hari. Misalkan, pelajaran muthala’ah, mahfudzat, dan hadis mengajarkan tentang akhlaqul karimah, sedangkan pelajaran bahasa Inggris mengajarkan tentang kedisiplinan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, tujuan pembelajaran di Gontor dapat tercapai sesuai yang diinginkan atau diarahkan.



Tujuan pembelajaran di Pondok Modern Darussalam Gontor adalah mencetak santri yang mukmin, taat menjalankan dan menegakkan syariat Islam, berbudi tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas, serta berkhidmat kepada bangsa dan negara, serta bukan untuk mencari ijazah atau gelar.



Oleh: Mochamad Lutfi Andriansa



Sumber

Thursday, May 26, 2011

Download Silabus dan RPP Berbasis Karakter

Download Silabus dan RPP Berbasis Karakter

Implementasi pendidikan karakter di sekolah salah satunya dapat dilakukan melalui pengintegrasian dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran, di mana materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran dikembangkan, dieksplisitkan, dan dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Sehingga pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

Contoh Silabus dan RPP Berbasis Karakter
Konsekuensi dari pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran, maka setiap guru dituntut untuk dapat merencanakan, melaksanakan dan menilai pembelajaran yang bernuansa pendidikan karakter.

Terkait dengan kegiatan merencanakan pembelajaran yang bernuansa karakter, di bawah ini saya sediakan tautan file contoh atau model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang bernuansa karakter untuk mata pelajaran IPS tingkat SMP.

--
Jika Anda berminat mengunduh contoh RPP tersebut, silahkan Klik DISINI
Untuk contoh silabusnya, silahkan Klik DISINI

Sumber
Menyusun Silabus Dengan Pendidikan Karakter

Menyusun Silabus Dengan Pendidikan Karakter

Langkah-langkah Menyusun dan Membuat Silabus Dengan Pendidikan Berkarakter

Bagi guru pemula bahkan mungkin mahasiswa keguruan, menyusun silabus adalah hal baru yang sangat sulit untuk dibayangkan wujudnya. Pada materi kuliah untuk pengembangan kurikulum, pastilah diberi materi tentang menyusun silabus. Akan tetapi, tidak sedikit yang mengalami kesulitan pada waktu menyusunnya agar sesuai dengan kebutuhan kurikulum sekarang ini, yaitu kurikulum KTSP atau kurikulum 2006.

Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan silabus? Agar lebih mudah untuk mendapatkan gambaran tentang silabus, Kenneth Croft (1980) mengadopsi pendapat dari makalah milik McKay tentang silabus. McKay menyatakan bahwa “….a syllabus provides a focus for what should be studied, a long with a rasionale for how the content should be selected and ordered.” Dengan kata lain, sebuah silabus memberikan fokus mengenai apa yang harus dipelajari, serta penjelasan mengenai bagaimana konten harus dipilih dan disusun.

Jadi apabila seorang pengajar akan memberikan materi pembelajaran atau melaksanakan kegiatan belajar mengajar, maka harus mempersiapkan silabus agar dapat memberikan alur yang jelas dan pasti bagi peserta didik tentang materi yang diberikan beserta kemampuan yang harus dicapai.

Permendiknas RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses menyatakan bahwa silabus sebagai acuan pengembangan RPP memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), materi pembelajaran/tema pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.

Perkembangan silabus yang baru, harus memasukkan unsur pendidikan karakter di dalamnya, serta direncanakan untuk dimasukkan sebagai nilai-nilai perilaku yang harus ditanamkan kepada siswa. Mengapa nilai-nilai perilaku? Karena karakter sendiri berarti nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Menurut Koesoema (2007) dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Karakter”, memberikan gambaran tentang karakter sebagai berikut:

“Disini, istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir.”

Pendidikan karakter berarti suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga manjadi insan kamil (sempurna). Kaitannya dengan penyusunan silabus, pendidikan karakter atau penanaman nilai-nilai tersebut semakin diperjelas dalam bagian isi silabus. Seperti yang telah diungkapkan oleh Koesoema tentang makna karakter yang dianggap sama dengan kepribadian, maka pendidikan karakter hampir sama pula dengan mengajarkan kepribadian.

Langkah-langkah menyusun silabus adalah sebagai berikut:

1. Petakan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD)
2. Pilihlah dan tentukan materi pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi dasar dengan mengacu atau menggunakan sumber belajar
3. Merancang kegiatan pembelajaran dengan mengggunakan metode pembelajaran yang sudah banyak digunakan. Buatlah kegiatan pembelajaran tersebut semenarik mungkin dan dapat memotivasi siswa untuk siap belajar.
4. Tentukan indikator pencapaian agar lebih mudah merancang penilaiannya.
5. Susunlah penilaian dengan menyertakan teknik yang digunakan, bentuk instrumen, dan berikan contoh soal.
6. Alokasikan waktu kegiatan pembelajaran. Sesuaikan dengan materi yang akan diberikan.
7. Masukkan sumber belajar. Sumber belajar dapat berupa buku yang digunakan, CD, kaset, atau website.
8. Dan terakhir tentukan nilai karakter apa yang harus ditanamkan melalui materi yang diberikan tersebut.

Sumber
Sejarah Perang Badar

Sejarah Perang Badar

Perang Badar merupakan awal perhelatan senjata dalam kapasitas besar yang dilakukan antara pembela Islam dan musuh Islam. Saking hebatnya peristiwa ini, Allah namakan hari teradinya peristiwa tersebut dengan Yaum Al Furqan (hari pembeda) karena pada waktu itu, Allah, Dzat yang menurunkan syariat Islam, hendak membedakan antara yang haq dengan yang batil. Di saat itulah Allah mengangkat derajat kebenaran dengan jumlah kekuatan yang terbatas dan merendahkan kebatilan meskipun jumlah kekuatannya 3 kali lipat. Allah menurunkan pertolongan yang besar bagi kaum muslimin dan memenangkan mereka di atas musuh-musuh Islam.



Sungguh sangat disayangkan, banyak di antara kaum muslimin di masa kita melalaikan kejadian bersejarah ini. Padahal, dengan membaca peristiwa ini, kita dapat mengingat sejarah para shahabat yang mati-matian memperjuangkan Islam, yang dengan itu, kita bisa merasakan indahnya agama ini.



Sebelum melanjutkan tulisan, kami mengingatkan bawa tujuan tulisan bukanlah mengajak anda untuk mengadakan peringatan hari perang badar, demikian pula tulisan tidak mengupas sisi sejarahnya, karena ini bisa didapatkan dengan merujuk buku-buku sejarah. Tulisan ini hanya mencoba mengajak pembaca untuk merenungi ibrah dan pelajaran berharga di balik serpihan-serpihan sejarah perang Badar.



Latar Belakang Pertempuran



Suatu ketika terdengarlah kabar di kalangan kaum muslimin Madinah bahwa Abu Sufyan beserta kafilah dagangnya, hendak berangkat pulang dari Syam menuju Mekkah. Jalan mudah dan terdekat untuk perjalanan Syam menuju Mekkah harus melewati Madinah. Kesempatan berharga ini dimanfaatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat untuk merampas barang dagangan mereka. Harta mereka menjadi halal bagi kaum muslimin. Mengapa demikian? Bukankah harta dan darah orang kafir yang tidak bersalah itu haram hukumnya?



Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan harta Orang kafir Quraisy tersebut halal bagi para shahabat:



1. Orang-orang kafir Quraisy statusnya adalah kafir harbi, yaitu orang kafir yang secara terang-terangan memerangi kaum muslimin, mengusir kaum muslimin dari tanah kelahiran mereka di Mekah, dan melarang kaum muslimin untuk memanfaatkan harta mereka sendiri.

2. Tidak ada perjanjian damai antara kaum muslimin dan orang kafir Quraisy yang memerangi kaum muslimin.



Dengan alasan inilah, mereka berhak untuk menarik kembali harta yang telah mereka tinggal dan merampas harta orang musyrik.



Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat bersama tiga ratus sekian belas shahabat. Para ahli sejarah berbeda pendapat dalam menentukan jumlah pasukan kaum muslimin di perang badar. Ada yang mengatakan 313, 317, dan beberapa pendapat lainnya. Oleh karena itu, tidak selayaknya kita berlebih-lebihan dalam menyikapi angka ini, sehingga dijadikan sebagai angka idola atau angka keramat, semacam yang dilakukan oleh LDII yang menjadikan angka 313 sebagai angka keramat organisasi mereka dengan anggapan bahwa itu adalah jumlah pasukan Badar.



Di antara tiga ratus belasan pasukan itu, ada dua penunggang kuda dan 70 onta yang mereka tunggangi bergantian. 70 orang di kalangan Muhajirin dan sisanya dari Anshar.



Sementara di pihak lain, orang kafir Quraisy ketika mendengar kabar bahwa kafilah dagang Abu Sufyan meminta bantuan, dengan sekonyong-konyong mereka menyiapkan kekuatan mereka sebanyak 1000 personil, 600 baju besi, 100 kuda, dan 700 onta serta dengan persenjataan lengkap. Berangkat dengan penuh kesombongan dan pamer kekuatan di bawah pimpinan Abu Jahal.



Allah Berkehendak Lain



Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para shahabat keluar dari Madinah dengan harapan dapat menghadang kafilah dagang Abu Sufyan. Merampas harta mereka sebagai ganti rugi terhadap harta yang ditinggalkan kaum muhajirin di Makah. Meskipun demikian, mereka merasa cemas bisa jadi yang mereka temui justru pasukan perang. Oleh karena itu, persenjataan yang dibawa para shahabat tidaklah selengkap persenjataan ketika perang. Namun, Allah berkehendak lain. Allah mentakdirkan agar pasukan tauhid yang kecil ini bertemu dengan pasukan kesyirikan. Allah hendak menunjukkan kehebatan agamanya, merendahkan kesyirikan. Allah gambarkan kisah mereka dalam firmanNya:



وَإِذْ يَعِدُكُمُ اللَّهُ إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ أَنَّهَا لَكُمْ وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيْرَ ذَاتِ الشَّوْكَةِ تَكُونُ لَكُمْ وَيُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ الْكَافِرِينَ



“Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan senjata-lah yang untukmu (kamu hadapi, pent. Yaitu kafilah dagang), dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir.” (Qs. Al Anfal: 7)



Demikianlah gambaran orang shaleh. Harapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat tidak terwujud. Mereka menginginkan harta kafilah dagang, tetapi yang mereka dapatkan justru pasukan siap perang. Kenyataan ini memberikan pelajaran penting dalam masalah aqidah bahwa tidak semua yang dikehendaki orang shaleh selalu dikabulkan oleh Allah. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, tidak ada yang mampu mengendalikan keinginan Allah. Sehebat apapun keshalehan seseorang, setinggi apapun tingkat kiyai seseorang sama sekali tidak mampu mengubah apa yang Allah kehendaki.



Keangkuhan Pasukan Iblis



Ketika Abu Sufyan berhasil meloloskan diri dari kejaran pasukan kaum muslimin, dia langsung mengirimkan surat kepada pasukan Mekkah tentang kabar dirinya dan meminta agar pasukan Mekkah kembali pulang. Namun, dengan sombongnya, gembong komplotan pasukan kesyirikan enggan menerima tawaran ini. Dia justru mengatakan,



“Demi Allah, kita tidak akan kembali sampai kita tiba di Badar. Kita akan tinggal di sana tiga hari, menyembelih onta, pesta makan, minum khamr, mendengarkan dendang lagu biduwanita sampai masyarakat jazirah arab mengetahui kita dan senantiasa takut kepada kita…”



Keangkuhan mereka ini Allah gambarkan dalam FirmanNya,



وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَرًا وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَاللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ



“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan…” (Qs. Al-Anfal: 47)



Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu di bawah pengaturan Allah, karena ditutupi dengan kesombongan mereka. Mereka tidak sadar bahwa Allah kuasa membalik keadaan mereka. Itulah gambaran pasukan setan, sangat jauh dari kerendahan hati dan tawakal kepada Yang Kuasa.



Kesetiaan yang Tiada Tandingnya



Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa yakin bahwa yang nantinya akan ditemui adalah pasukan perang dan bukan kafilah dagang, beliau mulai cemas dan khawatir terhadap keteguhan dan semangat shahabat. Beliau sadar bahwa pasukan yang akan beliau hadapi kekuatannya jauh lebih besar dari pada kekuatan pasukan yanng beliau pimpin. Oleh karena itu, tidak heran jika ada sebagian shahabat yang merasa berat dengan keberangkatan pasukan menuju Badar. Allah gambarkan kondisi mereka dalam firmanNya,



كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ



“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.” (Qs. Al Anfal: 5)



Sementara itu, para komandan pasukan Muhajirin, seperti Abu Bakr dan Umar bin Al Khattab sama sekali tidak mengendor, dan lebih baik maju terus. Namun, ini belum dianggap cukup oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau masih menginginkan bukti konkret kesetiaan dari shahabat yang lain. Akhirnya, untuk menghilangkan kecemasan itu, beliau berunding dengan para shahabat, meminta kepastian sikap mereka untuk menentukan dua pilihan: (1) tetap melanjutkan perang apapun kondisinya, ataukah (2) kembali ke madinah.



Majulah Al Miqdad bin ‘Amr seraya berkata, “Wahai Rasulullah, majulah terus sesuai apa yang diperintahkan Allah kepada anda. Kami akan bersama anda. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa: ‘Pergi saja kamu, wahai Musa bersama Rab-mu (Allah) berperanglah kalian berdua, kami biar duduk menanti di sini saja. [1]‘” Kemudian Al Miqdad melanjutkan: “Tetapi pegilah anda bersama Rab anda (Allah), lalu berperanglah kalian berdua, dan kami akan ikut berperang bersama kalian berdua. Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, andai anda pergi membawa kami ke dasar sumur yang gelap, kamipun siap bertempur bersama engkau hingga engkau bisa mencapai tempat itu.”



Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan komentar yang baik terhadap perkataan Al Miqdad dan mendo’akan kebaikan untuknya. Selanjutnya, majulah Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhu, komandan pasukan kaum anshar.



Sa’ad mengatakan, “Kami telah beriman kepada Anda. Kami telah membenarkan Anda. Andaikan Anda bersama kami terhalang lautan lalu Anda terjun ke dalam lautan itu, kami pun akan terjun bersama Anda….” Sa’ad radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan, “Boleh jadi Anda khawatir, jangan-jangan kaum Anshar tidak mau menolong Anda kecuali di perkampungan mereka (Madinah). Sesungguhnya aku berbicara dan memberi jawaban atas nama orang-orang anshar. Maka dari itu, majulah seperti yang Anda kehendaki….”



Di Sudut Malam yang Menyentuh Jiwa…



Pada malam itu, malam jum’at 17 Ramadhan 2 H, Nabi Allah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak mendirikan shalat di dekat pepohonan. Sementara Allah menurunkan rasa kantuk kepada kaum muslimin sebagai penenang bagi mereka agar bisa beristirahat. Sedangkan kaum musyrikin di pihak lain dalam keadaan cemas. Allah menurunkan rasa takut kepada mereka. Adapun Beliau senantiasa memanjatkan do’a kepada Allah. Memohon pertolongan dan bantuan dari-Nya. Di antara do’a yang dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berulang-ulang adalah,



“…Ya Allah, jika Engkau berkehendak (orang kafir menang), Engkau tidak akan disembah. Ya Allah, jika pasukan yang kecil ini Engkau binasakan pada hari ini, Engkau tidak akan disembah…..”



Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulang do’a ini sampai selendang beliau tarjatuh karena lamanya berdo’a, kemudian datanglah Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memakaikan selendang beliau yang terjatuh sambil memeluk beliau… “Cukup-cukup, wahai Rasulullah…”



Tentang kisah ini, diabadikan Allah dalam FirmanNya,



إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آَمَنُوا سَأُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ فَاضْرِبُوا فَوْقَ الْأَعْنَاقِ وَاضْرِبُوا مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍ (12) ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ شَاقُّوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَمَنْ يُشَاقِقِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (13)



“Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya.” (Qs. Al Anfal: 12-13)



Bukti kemukjizatan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam



Seusai beliau menyiapkan barisan pasukan shahabatnya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan di tempat pertempuran dua pasukan. Kemudian beliau berisyarat, “Ini tempat terbunuhnya fulan, itu tempat matinya fulan, sana tempat terbunuhnya fulan….”



Tidak satupun orang kafir yang beliau sebut namanya, kecuali meninggal tepat di tempat yang diisyaratkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.



Bara Peperangan Mulai Menyala



Yang pertama kali menyulut peperangan adalah Al Aswad Al Makhzumi, seorang yang berperangai kasar dan akhlaknya buruk. Dia keluar dari barisan orang kafir sambil menantang. Kedatangannya langsung disambut oleh Hamzah bin Abdul Muthallib radhiyallahu ‘anhu. Setelah saling berhadapan, Hamzah radhiyallahu ‘anhu langsung menyabet pedangnya hingga kaki Al Aswad Al Makhzumi putus. Setelah itu, Al Aswad merangkak ke kolam dan tercebur di dalamnya. Kemudian Hamzah menyabetkan sekali lagi ketika dia berada di dalam kolam. Inilah korban Badar pertama kali yang menyulut peperangan.



Selanjutnya, muncul tiga penunggang kuda handal dari kaum Musyrikin. Ketiganya berasal dari satu keluarga. Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin Rabi’ah, dan anaknya Al Walid bin Utbah. Kedatangan mereka ditanggapi 3 pemuda Anshar, yaitu Auf bin Harits, Mu’awwidz bin Harits, dan Abdullah bin Rawahah. Namun, ketiga orang kafir tersebut menolak adu tanding dengan tiga orang Anshar dan mereka meminta orang terpandang di kalangan Muhajirin. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ali, Hamzah, dan Ubaidah bin Harits untuk maju. Ubaidah berhadapan dengan Al Walid, Ali berhadapan dengan Syaibah, dan Hamzah berhadapan dengan Utbah. Bagi Ali dan Hamzah, menghadapi musuhnya tidak ada kesulitan. Lain halnya dengan Ubaidah. Masing-masing saling melancarkan serangan, hingga masing-masing terluka. Kemudian lawan Ubaidah dibunuh oleh Ali radhiyallahu ‘anhu. Atas peritiwa ini, Allah abadikan dalam firmanNya,



هَذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ



“Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Rabb mereka (Allah)…” (Qs. Al Hajj: 19)



Selanjutnya, bertemulah dua pasukan. Pertempuran-pun terjadi antara pembela Tauhid dan pembela syirik. Mereka berperang karena perbedaan prinsip beragama, bukan karena rebutan dunia. Sementara itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tenda beliau, memberikan komando terhadap pasukan. Abu Bakar dan Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhuma bertugas menjaga beliau. Tidak pernah putus, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melantunkan do’a dan memohon bantuan dan pertolongan kepada Allah. Terkadang beliau keluar tenda dan mengatakan, “Pasukan (Quraisy) akan dikalahkan dan ditekuk mundur…”



Beliau juga senantiasa memberi motivasi kepada para shahabat untuk berjuang. Beliau bersabda, “Demi Allah, tidaklah seseorang memerangi mereka pada hari ini, kemudian dia terbunuh dengan sabar dan mengharap pahala serta terus maju dan pantang mundur, pasti Allah akan memasukkannya ke dalam surga.”



Tiba-tiba berdirilah Umair bin Al Himam Al Anshari sambil membawa beberapa kurma untuk dimakan, beliau bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah surga lebarnya selebar langit dan bumi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” Kemudian Umair mengatakan: “Bakh…Bakh… (ungkapan kaget). Wahai Rasulullah, antara diriku dan aku masuk surga adalah ketika mereka membunuhku. Demi Allah, andaikan saya hidup harus makan kurma dulu, sungguh ini adalah usia yang terlalu panjang. Kemudian beliau melemparkan kurmanya, dan terjun ke medan perang sampai terbunuh.”



Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke barisan musuh. Sehingga tidak ada satu pun orang kafir kecuali matanya penuh dengan pasir. Mereka pun sibuk dengan matanya sendiri-sendiri, sebagai tanda kemukjizatan Beliau atas kehendak Dzat Penguasa alam semesta.



Kuatnya Pengaruh Teman Dekat Dalam Hidup



Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh Abul Bakhtari. Karena ketika di Mekkah, dia sering melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang memiliki inisiatif untuk menggugurkan boikot pada Bani Hasyim. Suatu ketika Al Mujadzar bin Ziyad bertemu dengannya di tengah pertempuran. Ketika, itu Abul Bakhtari bersama rekannya. Maka, Al Mujadzar mengatakan, “Wahai Abul Bakhtari, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk membunuhmu.”



“Lalu bagaimana dengan temanku ini?”, tanya Abul Bakhtari

“Demi Allah, kami tidak akan membiarkan temanmu.” Jawab Al Mujadzar.



Akhirnya mereka berdua melancarkan serangan, sehingga dengan terpaksa Al Mujadzar membunuh Abul Bakhtari.



Kemenangan Bagi Kaum Muslimin



Singkat cerita, pasukan musyrikin terkalahkan dan terpukul mundur. Pasukan kaum muslimin berhasil membunuh dan menangkap beberapa orang di antara mereka. Ada tujuh puluh orang kafir terbunuh dan tujuh puluh yang dijadikan tawanan. Di antara 70 yang terbunuh ada 24 pemimpin kaum Musyrikin Quraisy yang diseret dan dimasukkan ke dalam lubang-lubang di Badar. Termasuk diantara 24 orang tersebut adalah Abu Jahal, Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin Rabi’ah dan anaknya, Al Walid bin Utbah.



Demikianlah perang badar, pasukan kecil mampu mengalahkan pasukan yang lebih besar dengan izin Allah. Allah berfirman,



كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ



“…Betapa banyak golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al Baqarah: 249)



Mereka…

Mereka menang bukan karena kekuatan senjata

Mereka menang bukan karena kekuatan jumlah personilnya

Mereka MENANG karena berperang dalam rangka menegakkan kalimat Allah dan membela agamaNya…

Allahu Al Musta’an…



Footnote:

[1] Perkataan Al Miqdad radhiyallahu ‘anhu ini merupakan cuplikan dari firman Allah surat Al Maidah: 24



***



Penulis: Ammi Nur Baits

Artikel www.muslim.or.id
Contoh PTK: Media Pembelajaran Bahasa Arab

Contoh PTK: Media Pembelajaran Bahasa Arab

Dalam pembelajaran bahasa, baik bahasa arab atau bahasa inggris, penggunaan media sangat dibutuhkan agar pembelajaran tersebut tidak membosankan dan menjadi aktivitas yang menyenangkan. Kanyataan di lapangan menunjukkan bahwa aktifitas pembelajaran bahasa arab kurang bervariasi dari pada pembelajaran bahasa asing lainnya. Hal ini tidak hanya disebabkan adanya asumsi bahwa belajar bahasa arab sebagai bahasa asing untuk bisa mempergunakannya secara aktif hanya bisa dilakukan di negara arab tetapi juga penggunaan metode pembelajaran yang sudah ketinggalan dari metode pembelajaran bahasa asing lainnya.

Praktek pengajaran bahasa arab di pesantren atau tsanawiyah, aliyah, IAIN dan lain-lain pada umumnya masih menitik beratkan pada metode gramatika terjemah. Hal ini terbukti dengan pembelajaran yang menekankan pada keterangan kaidah-kaidah tata bahasa, menterjemah bahasa Arab ke dalam bahasa pelajar tapi tidak sebaliknya, latihan secara lisan tidak diberikan dan belum menggunakan alat-lat peraga audio-visual .

Dalam pembelajaran bahasa, salah satu media yang bisa digunakan adalah media audio visual. Nana Sudjana dan Ahmad Rivai mengatakan bahwa pemanfaatan media audio dalam pengajaran terutama digunakan dalam: pertama, pengajaran music literary (pembacaan sajak) dan kegiatan dokumentasi. Kedua, pengajaran bahasa asing, baik secara audio ataupun secara audiovisual. Ketiga, pengajaran melalui radio atau radio pendidikan. Keempat, paket-paket belajar untuk berbagai jenis materi, yang memungkinkan siswa dapat melatih daya penafsirannya dalam suatu bidang studi .
Dengan menggunakan media Gambar (visual) pengalaman belajar yang diperoleh siswa akan semakin bertambah. Siswa tidak hanya mendapat keterangan berupa kata-kata tapi mendapat pengalaman nyata dari visual yang di tampilkan. Amir Hamzah Sulaeman menyebutkan bahwa alat-alat visual tidak saja menghasilkan cara belajar yang efektif dalam waktu singkat, tetapi apa yang diterima melalui alat-alat visual lebih lama dan lebih baik tinggal dalam ingatan .
Karena kekurangan fasilitas pembelajaran yang dimiliki oleh Madrasah Tsanawiyah Al-ma'arif 01 maka guru mencoba menggunakan media visual yang berupa gambar dalam pembelajaran bahasa arab. Dengan media ini diharapkan suasana pembelajaran tidak membosankan dan menjadi lebih menarik sehingga bisa menumbuhkan minat siswa untuk belajar pelajaran tersebut dan yang lebih penting adalah tercapainya tujuan KBM dan kurikulum.

Dari latar belakang masalah diatas maka penulis mengambil penelitian dengan judul "Penggunaan Media Gambar Untuk Meningkatkan Minat Belajar Bahasa Arab Siswa Kelas VII E MTs Al-Ma'arif 01 Singosari Malang".

DOWNLOAD LENGKAP PTK DI SINI

Wednesday, May 25, 2011

Doa Indah Aa Gym

Doa Indah Aa Gym

Ya Allah,..Duhai zat yang mendetakkan jantung ini,

Duhai zat yang selalu memberikan makan kepada hamba-hambanya yang lapar,

Duhai yang memberikan air yang sejuk di kala kami dahaga,

Duhai yang mengaruniakan kantuk di kala kami lelah,

Duhai yang selalu menjaga dan mengurus kami kala kami tertidur,

Hanya Engkaulah Yang Maha Agung.. hanya Engkaulah Yang Maha Kuasa..



Ya Allah, betapapun kami menghianatiMu setiap waktu tapi tiada suatu saat pun terputus Engkau memberi nikmat kepada kami,



Ya Allah jadikanlah hari ini menjadi hari ampunan bagi segala kebusukan kami.

Penghapus bagi seluruh dosa-dosa kami, hari dimana Engkau singkapkan tabir dari hati kami, hari dimana Engkau gantikan segala kegelapan dengan cahaya ilahiyahMu di qolbu ini.



Ya Afuw ya ghafur..

ampuni kami… Engkau Yang maha mengerti tentang kami..

tubuh kami kotor penuh dosa, hidup kami berseliMut aib.. kini kami berada di hadapanMu… Ampuni yaa Allah sebusuk apapun masa lalu yang pernah kami lalui .. Ampuni sebanyak apapun dosa-dosa yang meluMuri tubuh ini.. Hapuskan yaa Allah sekelam apapun masa lalu kami..

Ya Allah.. Duhai zat Yang maha Pengampun .. kami datang padaMu…



Ya Allah, kami ingin hidup kami berubah, gantikan segala kebusukan kami menjadi kesucian dalam pandanganMu. gantikan segala kegelapan dengan cahayaMu.. gantikan segala kedzaliman kami menjadi hidayah taufikMu.. gantikan Ya Allah… Ampuni dan selamatkan kami, ibu bapak kami yaa Allah, anak-anak kami, dari segala bala hidup ini..



Ya Allah, kami ingin merasakan indahnya hidup dekat denganMu,

Kami ingin hari-hari yang tersisa ini menjadi hari-hari yang selalu akrab bersamaMu, kami lelah jauh dariMu ya Allah , kami tidak ingin terpuruk dan terhina karena tenggelam dalam kesesatan.

Berikan kepada kami keMudahan, untuk mengenalMu Ya Allah,.

Berikan kepada kami jalan untuk mendekat kepadaMu,.

Jadikan kami orang-orang yang selalu merasakan kehangatan dan kasih sayangMu.



Ya Allah jadikan sujud kami menjadi sujud yang penuh nikmat KepadaMu,.

Jadikan shedaqah kami menjadi jalan yang membuat kami akrab denganMu,.

Jadikan amal-amal kami sebagai amal-amal yang tulus hanya karenaMu,.

Ya Allah jangan biarkan kesibukkan dunia membutakan hati kami,...

Jangan biarkan pangkat dan jabatan, menjeruMuskan kami,...

Jangan biarkan hawa nafsu membuat kami terperosok dalam maksiat,..



Ampuni Ya Allah..kami para suami yang telah mendzalimi istri-istri kami.. juga ampuni para istri yang kurang dapat melayani keluarganya. Ampuni jikalau kami salah mendidik keluarga dan anak-anak kami Ya Allah..

Utuhkan kami di dunia.. utuhkan kami di surgaMu

Ya Allah.. Selamatkan anak-anak kami, Muliakan akhlaknya .. kuatkan imannya.., berilah mereka yang lebih baik daripada yang kami dapatkan, jadikan mereka hamba-hamba yang Kau banggakan di singgasanaMu yg tinggi itu.



Duhai Allah yang maha Agung

Karuniakanlah kepada kami keindahan Akhlak,

Kelembutan hati, kesejukan qalbu

Pancarkan dari diri kami, keindahan agamaMu ya Allah

Pancarkan dari pribadi diri kami, keagungan agamaMu ya Allah

Jadikan, kehadiran kami di manapun menjadi cahaya bagi ummatMu,

Jadikan, kehadiran kami di manapun menjadi penyejuk bagi ummatMu,

menjadi penggelora semangat bagi hamba-hambaMu..



Ya Allah cegahlah kami dari segala godaan yang menggelincirkan

Lindungilah kami dari tipu daya setan yang menyesatkan

Lindungi kami dari segala sifat Munafiq, ya Allah

Lindungi kami dari segala keMusyrikan

dan lindungi kami dari perbuatan apa pun yang akan menjadi contoh buruk bagi ummatMu



Ya Allah Engkau adalah tujuan kami

Engkau adalah tumpuan harapan kami

Engkau adalah dambaan hati kami

Karuniakan kami kesempatan memperbaiki diri, Ya Allah

Ya Allah jadikanlah kami para pemimpin yang dapat menjadi

contoh kebaikan dan kemuliaan bagi sebanyak-banyaknya umatMu..



Ya Allah, berikan ketaqwaan kepada jiwa-jiwa kami dan sucikanlah kami.

Engkaulah sebaik-baik yang mensucikannya.

Engkau Pencipta dan Pelindungnya

Ya Allah, perbaiki hubungan antar kami

Rukunkan antar hati kami

Tunjuki kami jalan keselamatan

Selamatkan kami dari kegelapan dg cahaya rububiyahMu

ya Allah.. Jangan Engkau tanamkan di hati kami kesombongan dan kekasaran terhadap sesama hamba yang beriman

Bersihkan hati kami dari benih-benih perpecahan, pengkhianatan dan kedengkian



Ya Allah, wahai yang memudahkan segala yang sukar

Wahai yang menyambung segala yang patah

Wahai yang menemani semua yang tersendiri

Wahai yang mengamankan semua yang takut

Wahai penguat segala yang lemah

Mudah bagiMu melancarkan segala yang susah

Engkau Maha Tahu dan melihatnya



Ya Allah, wahai zat yang Maha Mendengar, sayangilah kami, Berkahi sisa uMur kami ini,

Jadikan uMur yang tersisa ini membawa maslahat bagi orang tua kami, bagi keluarga kami, dan bagi sebanyak-banyakNya umat Mu di bumi ini,



Ya Allah hanya engkaulah Tempat kembali kami.. hanya engkaulah Yang Maha Tahu sisa uMur kami.. berikan kesempatan bagi kami Ya Allah… mempersembahkan yang terbaik bagi keluarga kami, masyarakat kami, bangsa kami, dan utamanya bagi agamaMu yang lurus..



Ya Allah, limpahkanlah Hidayah dan TaufikMu yaa Allah… jadikan kami hamba-hamba yg shalih hingga akhir hayat kami.. Jadikan akhir hayatnya khusnul khatimah.. Lapangkan kubur kami kelak, Jadikan kami ahli surgaMu..



Digubah oleh: M. Asrori Ar

http://kabar-pendidikan.blogspot.com
Beasiswa Studi Islam dari Fakultas Agama Islam UMM 2011

Beasiswa Studi Islam dari Fakultas Agama Islam UMM 2011

Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan anak bangsa dan kader muda Muhammadiyah, Fakultas Agama Islam UMM memberikan peluang beasiswa studi S-1 di jurusan Tarbiyah (Prodi. Pendidikan Agama Islam) dan Syari’ah (Prodi. Al-Ahwal as-Syakhshiyah) periode 2011-2012:

1. BEASISWA PROGRAM PENDIDIKAN ULAMA’ TARJIH (PPUT)

Beasiswa ini diberikan dalam bentuk pembebasan DPP, SPP selama kuliah (8 semester/4 tahun) bagi kader Muhammadiyah utusan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) se-Indonesia yang menguasai keterampilan pra-syarat menjadi calon ulama tarjih (seperti: Bahasa Arab, wawasan dasar keislaman dan kemuhammadiyahan). Beasiswa ini hanya diperuntukkan bagi 30 peserta yang lolos tes-tulis dan wawancara khusus yang diselenggarakan pada tanggal 8 Agustus 2011

2. BEASISWA ANAK YATIM/YATIM PIATU

Beasiswa ini diberikan dalam bentuk pembebasan DPP, SPP selama kuliah (8 semester/4 tahun) bagi kader Muhammadiyah utusan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) se-Indonesia yang berstatus yatim/yatim-piatu dan secara ekonomi tidak mampu. Beasiswa ini hanya diperuntukkan bagi 30 peserta yang lolos tes-tulis dan wawancara khusus pada tanggal 8 Agustus 2011.

3. BEASISWA KADER PERSYARIKATAN

Beasiswa ini diberikan dalam bentuk pengurangan DPP sebesar 75% dan SPP sebesar 25% bagi tamatan SMA/MA/SMK dan yang sederajat, yang direkomendasikan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) atau Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) se-Indonesia. Beasiswa ini diperuntukkan bagi peserta yang lolos tes-tulis dan wawancara khusus pada tanggal 8 Agustus 2011.

4. BEASISWA KADER PERSYARIKATAN

Beasiswa ini diberikan dalam bentuk pengurangan DPP sebesar 75% dan SPP sebesar 25% bagi tamatan SMA/MA/SMK dan yang sederajat, yang direkomendasikan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) atau Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) se-Indonesia. Beasiswa ini diproyeksikan bagi peserta yang tidak lolos tes beasiswa Program PPUT dan Yatim.

5. BEASISWA PRESTASI

Beasiswa ini diberikan dalam bentuk pengurangan DPP sebesar 75% dan SPP sebesar 25% bagi tamatan SMA/MA/SMK dan yang sederajat, yang memiliki prestasi sebagai:

  1. juara I-III lomba Tilawatil Qur’an (minimal) tingkat kabupaten/kota. Bagi calon pendaftar beasiswa ini harus melampirkan photocopy sertifikat juara;
  2. Hafidz/Hafidzah (5-10 juz al-Qur`an). Bagi calon pendaftar beasiswa ini harus melampiran surat keterangan huffadz dari asal sekolah/pesantrennya.
  3. 10 besar siswa terbaik di sekolahnya. Bagi calon pendaftar beasiswa ini harus melampirkan surat keterangan dari asal sekolah/pesantrennya.

WAKTU PENDAFTARAN:

Gelombang II : 09 Mei -02 Juli 2011
Gelombang III : 04 Juli – 06 Agustus 2011

Penjelasan selengkapnya tentang pelbagai persyaratan pendaftaran dapat dirujuk pada Surat Keputusan Rektor UMM, Nomor E.3.c/139/BAA/UMM/I/2011 yang telah dikirimkan ke Pimpinan Daerah Muhammadiyah se-Indonesia, atau bisa dibaca di Website FAI-UMM: fai-umm.ac.id atau bisa didownload di sini dlm format pdf.

Download Tawaran Beasiswa

Download Formulir Pengajuan Beasiswa

Sumber

Tuesday, May 24, 2011

Hermenetika; Konsep Rancu Historisitas Teks

Hermenetika; Konsep Rancu Historisitas Teks

Seringkali sikap-sikap menentang, khususnya dalam kancah pemikiran, disebabkan oleh “ketidaktahuan “ atau adanya proses-proses “kekaburan” yang timbul dari anggapan picik bahwa “apa yang ada dalam pikiran” identik dengan “apa yang ada dalam kenyataan”. Tingkat kerancuan ini-dan ketidak pahaman yang ditimbulkannya serta penentangan dan permusuhan sebagai kelanjutannya kian bertambah kompleks ketika “apa yang ada dalam pikiran” tersebut merupakan sesuatu yang kuno dan berakar dalam. Sebab, kekunoan itu telah memberinya sifat kepurbaan, suatau sifat yang membuatnya bernilai otoritatif dan tidak dapat diotak-atik atau didekati, karena merupakan otoritas suci[1].

Salah satu pemikiran yanga mengakar kuat dan otoritatif tersebut-yang hampir merupakan akidah karena kepurbaan dan dominasinya-adalah pemikiran bahwa Al-Qur’an yang diturunkan oleh Jibril kepada Muhammad dari hadirat Allah adalah teks yang qadim dan azali, dan ia merupakan salah satu di antara sifat-sifat Dzat Tuhan. Karena Dzat Tuhan adalah azali dan tak bermula maka demikian pula halnya dengan sifat-sifat-Nya dan segala yang berasal dari-Nya. Al-Qur’an adalah firman Allah dengan demikian, ia juga qadim karena termasuk diantara sifat-sifatnya yang azali dan qadim tersebut. Jadi siapapun yang mengatakan ia baru dan tidak qadim atau bahwa ia “tercipta” yang sebelumnya tidak ada kemudian ada-artinya ia muncul di alam-maka orang tersebut telah menentang akidah dan layak dikenal julukan kafir. Jika orang yang menyatakan muslim maka hukumnya murtad-lah yang berlaku atasnya karena persolan ke-qadim-an Al-Qur’an ini, maksudnya ia tidak tercipta dan baru, termasuk poin-poin akidah yang tidak akan genap keimanan seoarng muslim kecuali dengan menerimanya sepenuh hati[2].

Kritik teks, kajian ketiga yang ia lakukan adalah kajian tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, dalam kitabnya mafhum an-Nashsh yang akan menjadi objek pembahasan dalam tulisan ini. Kitab ini lebih tepat disebut dengan naqd an-nashsh, karena di dalamnya membahasan tentang Al-Qur’an dan ilmu-ilmunya dengan analisis-kritis. Maksudnya adalah kritik dalam artinya yang modern[3].

Dengan demikian, konsepsi tentang ke-azali-an al-Qur’an bukanlah bagian dari akidah sama sekali. Ungkapan tentang lauh al-mahfuzh yang terdapat dalam Al-Qur’an, seperti al-kursi, al-‘arsy, dan sebagainya, harus dipahami secara metaforik dan bukannya literal. Pengertian “Allah menjaga Al-Qur’an” bukan dalam pengertian “Dia memeliharanya di langit dalam bentuk tertulis di lauh mahfuzh”. Bukan demikian , akan tetapi maksudnya Dia memeliharanya di dunia ini dan dalam kalbu orang-orang yang beriman kepadanya. begitu pula firman Allah: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami lah yang akan memeliharanya”. Firman ini bukan intervensi Tuhan secara langsung di dalam proses pemeliharaan, kodifikasi dan pembukuan, melainkan intervensi, dan merangsang mereka betapa penting memelihara al-Qur’an ini[4].

Historisitas, kembali pada pembedaan yang dasar-dasarnya telah dibuat oleh Mu’tazilah, yaitu pembedaan antara kuasa dan tindakan dalam perspektif fakta ilahiah. Kuasa Tuhan bersifat mutlak dan sama sekali tidak berbatas karena merupakan salah satu dari sifat Dzat yang bersifat qadim. Ini dari satu segi, tetapi dari segi lain kuasa ini mempresentasikan “kemungkinan-kemungkinan” (potensi) yang tiada batas bagi tindakan (aksi). Dengan demikian, tindakan berkaitan dengan dunia yang relatif sekalipun sumber dan akar efektivitasnya terdapat pada kuasa yang mutlak. Tindakan tadi dari segi pertaliannya dengan yang relatif dan historis tidak bisa terlepas dari sejarah. Menggunakan ungkapan Abu Hamid al-Ghazali dalam misykah al-Anwar, tindakan pertama Tuhan adalah menciptakan alam semesta, mengeluarkannya dari gulita ketiadaan menuju cahaya wujud. Penciptaan alam dengan demikian, dapat dianggap sebagai fakta historis dalam dirinya sendiri, yaitu sebagi “kejadian” yang tidak ada presiden kecuali dalam ilmu Tuhan berupa yang tidak kita ketahui hakikatnya. Karena kita mengatakan bahwa dunia adalah “baru” (muhdats). Sementara persoalan “kebaruan alam” ini sendiri tidak lain adalah persoalan temporalitas dan historisitasnya. Dengan demikian, konsep histositas ini melekat pada keberadaan dunia dan tepatnya, proses perwujudannya-baik perwujudan ini diwujudkan dari ketiadaan sama sekali atau dibuat dari materi yang bersifat qadim[5]. Jadi kejadian dalam masa, bahkan sekalipun masa tersebut adalah momen awal dari masa tersebut, yaitu momen yang meisahkan antara wujud Tuhan yang absolut dan transenden dengan wujud-wujud yang tergantung dan historis. Kalangan yang menyakini ke-qadim-an Al-Qur’an beranggapan bahwa firman Tuhan adalah sifat Dzat dan bukannya sifat tindakan seperti dinyatakan Mu’tazilah. Mereka berpijak pada pernyataan yang terdapat dalam al-Qur’an bahwasanya Allah memulai penciptaan dengan perintah kejadian Tuhan. Setiap kali Allah SWT.menghendaki sesuatu maka Dia cukup mengatakan “jadilah”, maka jadilah. Sudah barang tentu, mustahil bagi kita membayangkan bahwa Allah SWT.melafalkan ujaran tadi sebagiamana yang dilakukan manusia. Karena itu, perintah kejadian dari Tuhan diatas tidak bisa tidak harus dipahami secara metaforik, sebagaimana lauh mahfuzh juga kami nyatakan untuk depahami dengan cara yang sama. Sebab, pemahaman yang harfiah dapat menjatuhkan kita pada persoalan-persoalan yang dapat mengusik akidah kita[6].

Ini pandangan yang berkat interes politik berhasil mendominasi dan menguasai sejarah kebudayaan Arab-Islam. Dengan penguasaan dan dominasi ini tidak lantas menjadikan pandangan tadi berhak atas klaim “kebenaran” dalam pengertian apa pun. Sebab ia mengandung analisis motologis yang hampir-hampir paganistik yang dapat menodai konsep tauhid yang kita tahu merupakan konsep kunci dalam akidah Islam, justru pandangan Mu’tazilah yang telah kami coba uraikan di depan lebih sejalan dengan semangat akidah Islam ini. Secara global pandangan ini dapat diberikan dalam bagan berikut: yang perlu kita cermati dalam hal ini, perlu kita analisa terlebih dahulu supaya kita tidak terjerumus dalam hal yang menyesatkan.
Studi Hermenetika: Teks Dan Problematika Konteks

Studi Hermenetika: Teks Dan Problematika Konteks

Di kalangan hermeneutik, teks memiliki kerangka pemahaman sendiri. Menurut mereka, arti sebuah teks selalu lebih luas daripada yang dimaksudkan oleh penulisnya proses batin, tetapi sesuatu ditundukkan pada tuntutan bahasa. Dengan demikian, bahasa bersifat sangat memberdayakan (enabling) atau sangat mengendala (constraingin), sebab kemampuan daya ungkap kita baik secara lisan maupun tulis (teks) dibatasi oleh kemampuan bahasa kita. Maka bahasa sebagai tema sentral hermeneutika, sebagai metode memahami teks, hermeneutika berhubungan dengan bahasa.

Menurut Gadamer (1977) “Language and understanding are inseparable structural aspects of human being in the sorld”. Bahasa menjadi tema sentral setudi hermeneutika, sebab bahasa dipandang sebagai unsur sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia berpikir, menulis, berbicara, mengapresiasikan karya seni dan sebagainya melalui bahasa[1].

Interpretasi terhadap teks-teks agama (Al-Qur’an dan Hadits Nabi), bagi wacana agama, merupakan salah satu mekanisme yang sangat penting-jika bukan yang terpenting-untuk melontarkan konsep-konsep dan pandangan-pandangannya. Interpretasi yang sejati, yaitu yang menghasilkan makna teks, menuntut pengungkapan makna melalui analisis atas berbagai level konteks. Namun, wacana agama biasanya mengabaikan beberapa level konteks ini, jika tidak mengabaikan keseluruhannya, demi memproteksi pelacakan makna yang telah ditentukan sebelumnyua. Pengabaian ini disatu sisi disebabkan oleh tidak disadari norma-norma pembentukan teks linguistik, dan disisi lain disebabkan anggapan bahwa teks-teks agama adalah teks yang unik dan berbeda-atau hampir berbeda-sama sekali dari teks-teks linguistik lainya. Satu hal yang pasti adalah bahwa upaya membongkar fenomena mengapa kontks diabaikan dalam penafsiran wacana agama merupakan langkah mendasar untuk membangun kesadaran ilmiah terhadap teks-teks agama dan norma-norma pembentukan maknanya. Inilah persoalan penting dan mendesak yang harus kita perhatikan, demi menyelamatkan kesadaran publik dari ketersisihan dari dinamika sejarah dan keterkungkungan dalam benteng masa lampau: masa lampau betapa pun gemilang dan megah, namun tetaplah telah lewat dan berakhir[2].

Abu Zaid berpendapat bahwa perang pemikiran yang berlangsung sekarang, dan yang merupakan perpanjangan perang pemikiran yang telah memanas pada masa Thaha Husein, hanya merupakan penjelmaan dari pertentangan antara dua sikap terhadap teks, dua konsep atau cara berinteraksi dengan teks, yaitu antara dua pembacaan: sebuah pembacaan “yang menerapkan mekanisme-mekanisme nalar yang gaib di dalam khurafat dan mitos”, dan ia merupakan pembacaan yang dilakukan oleh para qudama dan Islamis (islamiyiin) kontemporer: sebuah pembacaan “yang menerapkan mekanisme-makanisme nalar historis-humanis”, dan ia merupakan pembacaan orang-orang modern, seperti para sekularis dan kaum pencerahan. Sang pengkaji kita ini (Abu Zaid) memilih pembacaan yang kedua. Ia lebih tepat dikatakan berusha membaca teks dengan pembacaan hitoris-humanis, bukan pembacaan trologis-mitolotis[3].

Untuk itu, perhatian studi ini ditujukan pada : Pertama, membongkar fenomena pengabaian konteks dalam wacana agama, dan Kedua, mengungkap dampak dari fenomena itu pada wilayah pemikiran dan sosial. Dengan demikian, studi ini terbagi menjadi tiga baigan. Baian Pertama, menjelaskan segi-segi kesamaan antara teks-teks agama dan non-agama dari sudut aturan pembentukan strukturisasi, dan produksi makna. Tapi kesamaan disini tidak berarti indentik. Sebab teks agama miliki ciri yang unik, terutama teks agama Islam. Kedua, mendeteksi prosedur yang dipergunakan oleh wacana agama sehingga problematika kontkes menjadi terabiakan dalam berbagai analisis dan penafsiran mereka.

Upaya pembongkaran tersebut memusatkan pada dua topik sental wacana agama. Pertama adalah interpretasi “scientific” atas teks agama, suatu topik yang menyingkapkan betapa konteks budya diabaikan. Kedua, adalah topik tentang “otoritarianisme” (al-hakimiyyah) menyingkap konteks historis diacuhkan-konteks as-bab an-nuzul- disamping konteks narasi linguistik dari teks yang menjadi objek penasiran juga diabaikan. Ketiga, memaparkan dampak dibidang pemikiran, sosial, dan politik akibat dari diabaikaknnya satu dan lain level kontkes oleh wacana agama. Tidak dapat dibantah bahwa wacana agama memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan struktur kesadaran. Tidak saja di kalangan masyarakat awam, tapi juga dikalangan lapisan cendikiawan dan tokoh-tokoh berpengaruh dibidang pendidikan dan pengajaran yang tak bisa diremehkan. Karena itu tidak mungkin mengabaikan kajian tanpa mengungkapkan berbagai dampak negatif yang timbul darinya[4].

Hakikat firman Tuhan ini telah di kaji para pendahulu kita dan mereka terpecah ke dalam dua kelompok. Mu’tazilah berpendapat bahwa kalam (firman) adalah baru dan makhluk. Selanjutnya, hakikat firman tidak berbeda antara yang ada di seberang sana dengan yang terdapat di alam indrawi ini. Sebaliknya lawan Mu’tazilah berpendapat bahwa firman Tuhan adalah qadim dan termasuk diantara sifat dan Dzat Tuhan sejajar dengan sifat ilmu, kuasa, hidup, dan sebagainya. Pandangan ini telah mengantar mereka, bahwa Al-Qur’an yang tertulis dalam bahasa Arab di lauh mahfuzh sejak zaman azali. Sikap moderat kelompok Asy’ariyah tidak jauh dari pandangan takhayul dan mitologis tersebut. Apabila para pendahulu kita memiliki kelemahannya sendiri di dalam mendekati persoalan teks yaitu: meninjaunya dari perspekdtif hakikat firman, maka kalangan modernis telah berbuat fatal karena tidak beranjak dari topik-topik keagamaan yang dilontarkan dalam tradisi[5].

Abdul Qahir mengemukakan, memeperlakukan Al-Qur’an sebagia teks linguistik yang keberadaannya tidak berbeda dari teks-teks lain kecuali dalam tingkat sejauh mana aturan-aturan umum pembentukan teks dimanfaatkan. Maka, orang yang menghambat pengkajian puisi (meremehkan nilainya) dan pengkajian norma-norma dan mekanisme dalam memproduksi teks sebenarnya telah menghambat dirinya sendiri dan juga kita dari kemungkinan menemukan karakteristik yang membedakan Al-Qur’an dari teks yang lain. Dengan kata lain menghalangi kita untuk mengetahui kemukjizatan al-Qur’an[6].

Karena penekanan pada aspek nalar dan ijtihad dalam al-ta’wil lebih dominan ketimbang pemahaman melalui bahasa dan penggunaan metode dan problematika (ilmu-ilmu Al-qur’an) tertentu, maka dalam wacana studi Al-qur’an tradisional, terdapat juga pemilahan yang cenderung idiologis antara terminologi al-tafsir dan al-ta’wil. Yang pertama dianggap dapat menghasilkan penafsiran Al-Qur’an yang lebih valid dan objektif yang diwakili oleh mereka yang lebih kuat berpegang pada riwayat atau teks (naqli) yang disebut ahl as-sunnah. Sementara yang terakhir, sebaliknya, dituduh lebih mengikuti tendensi ideologis dalam kegiatan penafsiran, seperti yang disinyalir dalam ayat “fi qulubhim zaygh fyattabi’una ma tasyabha minh ibtigah’ al-fithnah”. Yang terakhir ini kemudian disematkan kepada golongan Mu’tazilah (sayap rasional umat) dan kaum sufi ada umumnya[7].

Mengingat disini kita dihadapkan pada problematika konteks, baik dalam konteks pembentukan teks maupun produksi maknanya-yaitu pada level-level “penurunan dan penafsiran” (al-tanzil wa at-ta’wil) dalam istilah Abdul Qahir maka itu akan memperhatikan beberapa level kontkes yang terpenting saja. istilah “konteks” sekalipun dari segi bentuk kata adalah tunggal, tetapi menunjukkan keragaman yang hingga sekarang agaknya belum tuntas dirumuskan dalam studi teks. Teks itu banyak sesuai dengan teks budaya[8].

Perbedaan antara “sistem bahasa” dengan “sistem teks” inilah yang menentukan pesan. Perbedaan ini pada dasarnya muncul dari idiologi pengirim. Dari pihak penerima sistem bahasa ini mencerminkan apa yang dapat disebut sebagai kerangka penafsiran dari pesan, sementara sistem teks-maksudnya makna dari sistem ini-mencerminkan apa yang disebut “fokus penilaian” karena disini idiologi penerima turut terlibat untuk menilai dan memutuskan. Metode komunikasi ini dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut.

Pertanyaanya sekarang: mungkinkah memahami teks agama, dan Al-Qur’an khusunya, diluar kerangka konteks budaya dan pengetahuan dari kesadaran bangsa Arab pada abad VII M. bahasa yang merupakan medium pesan dalam teks keagamaan adalah jawaban dari pertanyaan. Ini, asalkan disadari bahwa ia bukanlah wadah kosong atau semata-mata alat komunikasi yang netral. Akan tetapi, setiap teks memiliki bahasanya sendiri atau mendium skundernya, didalam sistem bahasa yang umum. Melalui bahasa skunder inilah teks-teks agama melontarkan aqidah (idiologi) baru, aqidah yang dipakai teks agama untuk merekonstruksi kesadaran pembacanya. Namun, meskipun akidah tersebut baru, namun tidak baru sama sekali, sebab bagaimanapun juga teks pada akhirnya cenderung pada ideologi yang memiliki akar-akarnya atau cenderung memberikan harapan-harapan awalnya bagi perkembangan kebudayaan[9].

Dengan demikian, konteks lingustik berkembang melampui makna yang tersurat (malfuzh), karena bahasa sebagiamana disebutkan diatas, merupakan bagian dari struktur yang lebih luas, yaitu struktur budaya/sosial. Dan karenanya struktur ini tidak menjalankan fungsi komunikatifnya-sebagai struktur makna kecuali melaui struktur yang lebih luas. Dari tidak mungkin kita membatasi makna pada ucapan yang dilafalkan, sebagaiman pula kita tidak mungkin membatasinya pada makna kadungan (dalalah al-fahwa), bahkan harus diperluas hingga mencakup wilayah yang didiamkan dalam struktur wacana. Tidak disangsikan bahwa analisis terhadap level-level konteks linguistik dalam struktur teks-teks keagmaan dengan memasukan level yang terdiamkan-meski level-level ini beragam sesuai dengan keragaman level pembacaan-memungkinkan kita memahami teks lebih mendalam dan ilmiah[10].

“Sesungguhnya mukjizat Al-Qur’an bukan hanya karena keindahan linguistiknya sebagian dikatakan sementara orang, bukan pula mukjizat bagi orang Arab saja, akan tetapi bagi semua manusia. Karena semua manusia dengan bahasanya… tidak mampu memberikan satu teks yang serupa. Masing-masing dengan bahasa yang khas dimana teks tetap baku, dan muatan cakrawala pengetahuan manusia yang berubah-ubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman hingga akhir masa[11].

Barangkali tidak dengan sengaja, sebagai alternatif adalah menggantungkan teks diawang-awang dimana dapat dipahami dengan segala cara. Di bawah bayang-bayang pengentasan prinsip “hegemoni teks”, takwil mengalami akumulasi dengan menyembunyikan wajah realitas dan memalsukan kesadaran, adakah kesia-siaan yang melebihi itu semua?!.


[1] Mudjia Rahardjo, EL-JADID, Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam, UIN Malang, Vol. 1, No. 1, 2003. hlm. 20-23.

[2] Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, Op. Cit, hlm. 111.

[3] Ali Harb, Kritik Nalar Al-qur’an, Op.Cit. hlm. 316.

[4] Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, Op.Cit. hlm. 112.

[5] Ibid, hlm. 113.

[6] Ibid, hlm. 114.

[7] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan Metode Tafsir al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, Depok, Mizan Media Utama, 2002. hlm. 61.

[8] Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, Op. cit, hlm. 117.

[9] Ibid, hlm. 122.

[10] Ibid, hlm. 133-134.

[11] Ibid, hlm. 145.

Teks al-Qur’an Dan Takwil Perspektif Bahasa Dan Budaya

Teks al-Qur’an Dan Takwil Perspektif Bahasa Dan Budaya

Sekarang dalam bidang semantik, dan barangkali setelah itu dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahkan ilmu kritik dan balaqhoh (retorika). Menentukan tujuan ilmu-ilmu humaniora dan sosial, meskipun beragama spesifikasi, pengantar, dan metodenya. Tujuannya adalah untuk mengungkap sebagian karakteristik khas budaya Arab-Islam dalam dimensi tradisonal-historis, sebagai upaya untuk lebih memahami realitas kulrutal kontemporer kita. Jika budaya merepresentasikan memori kolektif masyarakat, maka memori itu tidak lain adalah himpunan teks yang menentukan nilai-nilai, adat istiadat, pola-pola perilaku, dan standar salah dan benar.
Didalam budya dimana teks keagamaan-senantiasa-menjadi poros edar, upaya mengungkap konsep teks juga berarti mengungkap mekanisme-mekanisme yang melahirkan pengetahuan, karena teks keagamaan menjadi teks yang malahirkan seluruh atau sebagian tipe-tipe teks yang dikandung oleh memori atau budaya tersebut. Itu berarti bahwa meski bermula dari kajian tentang konsep teks, kajian ini berusaha mengungkap meski secara implisit-pula budaya yang terkait dengannya.

Teks itu yang menjadi suaka pemikiran yang sesungguhnya yang sulit diabaikan dalam sistem logis yang kaku atau dibatasi makna serta signifikainsinya. Dalam hal ini, memahami nalar dan tradisi (al-‘aql wa an-n aql) justru semakin memperlihatkan rasionalitas tradisi dan irasionalitas nalar. Sebab, tidak ada nalar murni, sebagaimana pula tak ada tradisi murni. Bahkan, rasionalitas memiliki tipe-tipe yang berbeda. Tiap tipe mempresentasikan salah satu metode nalar dan salah satu tujuan pemikiran. Jika pemikiran Arab dan Islam bertolak dari “prinsip kenabian” (ashal nabawi), maka prinsip ini memiliki rasionalitasnya yang khas[1].

Dalam konteks ini, kita harus memulai-pertama-tama-dengan mengungkap makna semantis dari kata an-nashsh (teks) dalam bahasa. Ini dilakukan karena bahasa merepresentasikan sistem pokok yang bermakna dalam strkutur budaya secara umum. Pengungkapan makna semantis dan pelacakkan perkembangan bahasa dari makna terminologis, menggambarkan pusat utama untuk beranjak pada upaya pengungkapan konsep tersebut dalam ilmu-ilmu budaya Arab secara umum. Inilah tema utama dalam fokus tulisan berikut ini.

Dalam bahasa Eropa, “teks” (text) berarti suatu jalan relasi-relasi semantis setruktural yang melampui batas-batas kalimat dalam pengertian gramatikal (nahwaiyah), suatu makna yang didukung oleh akar kata utamanya dari bahasa Latin. Tidak demikian dengan bahasa Arab. Jika diteliti berbagai makna dalam kamus Lisan al-Arab, bisa disimpulkan bahwa makna utama dari kata annashsh adalah “tampak dan tersingkap”[2].

Teks Kebahasaan atau Bahasa Teks, karena Abu Zaid melihat konsep wahyu dari perspektif historis-humanis maka ia mengajukan sebuah definisi baru tentang Al-Qur’an sebagai “teks kebahasaan” (nash lughawi), dengan menjauhi setiap muatan-muatan yang memiliki kandungan teologis, mitologis, dan atau gaib, seperti wahyu, ketuhanan, kesakralan, dan kenaiban…tetapi ungkapan “teks kebahasaan” merupakan ungkapan yang tidak pada tempatnya. Bahkan ia ambigu karena terlalu umum. Oleh karena itu, ia mungkin dapat diterapkan dalam berbagai perbedaan teks dan wacana, karena tidak ada satu wacana pun kecuali bahasa menjadi jasadnya, dan tidak ada satu teks pun kecuali mungkin ia merupakan pemenuhan kebahasaan yang mengandung berbagai makna, baik secara puitis, maupun ilmiah[3].

Kata nashsh digunakan dalam arti “yang jelas lagi terang yang tidak mengandung takwil”, masih berlaku di dalam tulisan Arab, termasuk tulisan sufistik, dan Ibnu Arabi Sang Sufi masyhur Andalusia. Dia berpendapat bahwa kata nashsh menunjukkan waktu, dan tidak demikian halnya dengan kata kerja karena kadang-kadang menunjukkan pada wujud semata. Karena itu, pada kalimat “Allah ada dan tak ada sesuatu pun bersamanya dan sekarang Dia ada sebagaimana adanya”. Kana tidak menunjukkan pada waktu, tetapi menunjukkan pada wujud mutlak, dan karenanya terbebas dari kontradisi ekternal antara kedua bagiannya, yakni kontradiksi[4].

Kritik bukan berati melawan berbagai usaha dan teks, sebagaimana yang ditempuh oleh al-Ghazali. Merurut Ibnu Sina dan al-farabi, hal-hal kontradiktif yang dibangun al-Ghazali lebih kuat dibandingkan dengan apa yang harus dimusnahkan. Dalam arti bahwa teks senantiasa memaksa dan mendorong kita untuk membaca dan memikirkannya. Kritik bukan berarti pengelabuhan wacana-wacana, sebagaimana menurut Abi al-ala al-Ma’ari dalam komentarnya terhadap Maqalat ar-Rusul dan Shadiq Jalal al-Azham dalam konsepnya tentang dogma dan kebenaran tunggal. Teks nabasi misalnya, ia tidak menyimpan suatu yang signifikan dalam memaparkan kebenaran atau apa yang sesuai dengannya. Tetapi pada tingkat pertama, ia menyembunyikan kebenarannya dalam melihat segala yang ada (maujud), mekanisme pemroduksian makna, bagaimana berinteraksi dengan kebenaran, dan juga cara mengungkap sesuatu[5].

Hakekat kebenaran, otoritas ini sering kali menjadi sumber bagi otoritas politik yang otoriter diamana para pemikir dan da’i ikut serta dalam memeranginya. Barangkali ini-lah yang telah berlangsung didunia Arab: para intelektual dan da’i berusaha menyebarluaskan konsep-konsep, madzhab-madzhab, dan aturan-aturan yang mereka sendiri menjadi korban pertamanya. Apabila kita menerima konsep “kebebasan” (al-hurriyyah) sebagai mana yang ditawarkan Abu Zaid maka kita akan mengerti bahwa konsep itu dijalankan dengan sebuah cara yang menentang berbagai kebebasan, terlebih lagi kebebasan seorang penulis. Bahkan kita akan mengetahui bahwa sebagian intelektual dan penulis yang mendakwahkan kebebasan, keadilan, dan kemajuan, mereka menerjamahkan konsep ini kedalam konsep yang sebaliknya manakala mereka terjebak kedalam kekuasaan atau ikut ambil bagian didalam masalah politik[6].

Kajian ketiga yang ia lakukan adalah kajian tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, dalam kitabnya Mafhum an-Nashsh yang akan menjadi objek pembahasan dalam tulisan ini kitab lebih tepat disebut dengan naqd an-nashsh, karena didalamnya membahas tentang Al-Qur’an dan ilmu-ilmunya dengan analisis-kritik.

Menurut definisi kontemporer, teks adalah serangakaian tanda-tanda yang tersusun didalam suatu sistem relasi-relasi, yang menghasilkan makna umum yang mengandung pesan. Baik tanda-tanda tersebut menggunakan bahasa biasa-kata-kata-maupun merupakan tanda-tanda dengan menggunakan bahasa lainnya. Maka, susunan tanda didalam suatu sistem yang mengandung pesan termasuk teks. Bukan suatu kebetulan jika kosakata ‘ilm, ‘alam, dan ‘alamah berasal dari satu akar kata didalam bahasa Arab. Juga bukan suatu kebetulan bahwa kitab teragung berbahasa Arab (Al-Qur’an), dan teksnya yang hegemonik itu, menamakan dirinya sebagai risalah (pesan), dan satuan-satuan dasar dari unsur-unsur suratnya-satuan-satuan terbesar-dinamakan ayah (tanda).

Maksud dari ayah adalah pesan dariku dan kabar tentang ku. Maka makna ayat-ayat tersebut adalah: kisah-kisah, kisah mengiringi kisah, dengan pemisah-pemisah dan penghubung-penghubung.

Sebagaimana yang telah disinggung, tradisi hermeneutika Al-Qur’an mewarisi epistimologi al-bayan dan al-‘irfan yang masing-masing menurunkan al-tafsir dan al-ta’wil sebagai dua pendekatan yang berbeda dalam memahami teks itu sendiri. Secara tradisional, al-tafsir memang dibedakan dengan al-ta’eil. Setelah menimbang-nimbang pelbagai sumber pembentukan kata (musyataqqat al-kalam) dan penggunaannya dalam berbagai koneks (siyaq al-kalam) dalam literatur bahasa Arab dan keilmuan Islam, maupun dalam Al-Qur’an sendiri, Abu Zayd, menyimpulkan bahwa arti kata al-tafsir pada hakikatnya adalah uapaya “menyingkap sesuatu yang samar-samar dan tersembunyai melalui mediator”[7].

Jika “ayat” adalah tanda, dan teks adalah pesan, maka seluruh wujud-didalam Al-qur’an-adalah serangkaian tanda-tanda yang menunjukkan-ayat-ayat pada adanya Allah dan keesaan-Nya. Itu berarti bahwa ada dua teks: teks bahasa yang dikirimkan dari Allah untuk menusia. Dan teks nonbahasa-alam-yang menggambarkan pesan yang isi kandungannya selaras dengan isi kandungan pesan bahasa. Uraian makna kata ayah dan derivasinya di dalam wacana Al-Qur’an memperkuat pandangan kami ini. Mu’jam al-fazh al-qur’an al-Karim meringkas maknanya sebagai berikut:

“Makna asal dari ayat adalah: tanda yang jelas, dan itu terwujud di dalam semua yang kita sebut “ayat”. Maka penciptaan alam disebut ayat karena merupakan tanda bagi kekuasaan Allah. Mukjizat para Nabi dinamakan ayat karena merupakan tanda kebenaran mereka, dan kekuasaan Allah. Ibarat dinamakan ayat karena merupakan tanda bagi makna-makkna agung dan I’tibar”.

Banyak ayat Al-Qur’an yang mengarahkan manusia untuk membaca ayat-ayat Allah di dalam alam, didalam manusia, dan di dalam dirinya sendiri. Ini menunjukkan adanya gambaran mengenai saling dukungan antar teks tersebut-bahasa, alam, dan manusia-didalam melahirkan makna yang menghasilakan pesan. Mamahami kemalaikatan, dan makhluk sama halnya menakwilkan ayat-ayat/tanda-tanda mencapai maknanya, dan begitu pula penakwilan Al-Qur’an teks bahasa-termasuk perantara bagi pesan yang ada-lebih dulu-di dalam alam, seperti membaca alam di dalam ‘Al-Qur’an[8].

Didalam membagi macam-macam makna, para mutakalimin menjadikan makna linguistik sebagai cabang dari makna rasional, dan menjadikan pengetahuan rasioanal mengikuti tangkapan-tangkapan indriawi. Sesungguhnya mereka menceburkan diri untuk memahami “alam” yang terdiri dari tanda-tanda/ayat-ayat/makna-makna, dengan mengembalikan “Penakwilannya” pada “alam”. Karena makna Al-Qur’an adalah makna linguistik, maka untuk mengungkap makna ini-dengan manakwilkan tanda-tanda/ayat-ayat-tidak mungkin berhasil dengan melepaskannya dari pemahaman tentang alam dalam artian diatas. Akan tetapi, perkembangan-perkembangan berikutnya di dalam formulasi konsep teks melalui mekanisme-mekanisme pembacaan menjadi terikat dengan benang, dari pemahaman implisit tersebut-yang kita harapkan dapat mengungkapkannya dan menelitinya-di dalam budaya pra-Islam dan awal perkembangan Islam. Kadang dikatakan: benang yang diupayakan untuk diungkap adalah benang yang tertahan oleh lainya dan mengikutinya dari saluran menuju sumber. Yang paling utama kita mengikutinya dari sumber/asal usul menuju saluran di dalam arah perkembangan alaminya.

Jadi, teks wahyu berlandaskan pada imajinasi dan peniruan (muhakah) sebagaimana kata para filsuf. Peniruan adalah konsepsi tetoris(balaqhah), dan wahana metaforis. Dengan demikian, argumentasi filosofis menjelaskan pengetahuan tentang cara mengeluarkan signifikansi dari majaz menuju hakikat (realitas), yang menurut kaidah bahasa Arab dalam tajawwuz (Ibnu Rusyd), ia hanyalah merupakan pelampauan dan pelawatan di antara signifikansi. Dalam pandangan saya, sesungguhnya disinilah letak problematika pemikiran filsafat Arab, yakni dalam cara memisahkan aspek hakikat dengan aspek majaz,burhani dengan bayani, tashawauri dengan takhyili [9].

ANALISIS

Pada dasarnya hermeneutika itu sendiri merupakan tafsir yang berdasrkan atau interpretasi berdasarkan argumentasinya pada tida unsur pokok yang terkandung didalamnya. Yaitu adanya pesan yang seringkali berupa teks, adanya sekelompok penerima, dan adanya perantara/penafsir itu sendiri. Nasruddin Baidan juga menjelaskan bahwa tiga pilar utama dalam hermeneutika itu berupa (text, autor, dan audeins), tidak berbeda dengan ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an. Ibn Taimiyah-pun mengatakan bahwa proses yang benar dalam upaya penafsiran itu harus memperhatikan tiga hal:

  1. Siapa yang mengatkannya.
  2. Kepada siapa ia diturunkan
  3. Ditujukan kepda siapa.

Penjelasan dari tiga argumentasi diatas sebagai berikut: Pertma, dari segi adanya pesan, berita yang seringkali berbentuk teks, tafsir Al-Qur’an jelas menafsirkan teks-teks yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’an. Kedua, harus ada kelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa asing terhadap pesan itu, dalam hal ini kaum Muslimin pembaca/para peneliti Al-Qur’an, baik yang berbahasa Arab apalagi yang tidak berbahasa Arab. Pesan Al-Qur’an itu harus jelaskan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan petunjuk dan pedoman hidup mereka. Ketiga, adanya perantara yang dekat dengan kedua belah pihak. Perantara yang paling dekat dengan sumber yaitu Allah SWT adalah Rasulullah sebagai rujukan utama dalam menafsirkan pesan-pesan Allah. Sistem sanad diperlukan untuk menjaga otentitas dan validitas penjelasan Nabi tentang maksud Allah SWT[10].

Dan merupakan tradisi yang kuat pada kalangan Arab. Saat itu hingga sampai sekarang ini. Muncul dan berabad-abad, hingga terjadi suatu kerancuan atau perdebatan antara kalangan intelektual muslim sendiri, antara Mu’tazilah dan lawan-lawannya, tapi masih dipandang sangat menarik dan juga menjadi suatu bahan pikiran sumbangan tersendiri, yang perlu di pelihara serta dilestarikan.


[1] Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema, Yogyakarta, LkiS Yogyakarta, 2003. hlm. 12

[2] Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, Op. cit, hlm. 180.

[3] Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur’an, terj. M. Faisol Fatawi, Op. Cit, hlm. 319.

[4] Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, Op. cit, hlm. 186

[5] Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur’an, terj. M. Faisol Fatawi, Op. Cit, hlm.11-12.

[6] Ibid, hlm. 306-307.

[7] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan Metode Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi,Op. Cit. hlm. 56-57.

[8] Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, Op. cit, hlm. 204-205.

[9] Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, Op. Cit, hlm. 44.

[10] Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Yogyakarta, UII Press Yogyakarta (anggota IKAPI), 2005. hlm. 73-74.